MENAMPILKAN KREASI TARI BERKELOMPOK ATAU BERPASANGAN
A.TARI BERPASANGAN
- Tari Ketuk Tilu
• Karakter : Lincah
• Bentuk sajian : Tari berpasangan
• Kelompok tari : Tari rakyat
• Busana :
Wanita
• Kebaya warna cerah
• Kain batik/sinjang
• Selendang panjang disampirkan di bahu
• Rambut di-cepol di atas dengan aksesori
bunga
Laki-laki
• Baju kutung (tak berlengan warna cerah, dipakai
di dalam)
• Rompi tangan panjang warna senada/kontras,
dipakai di luar tanpa kancing.
• Sarung yang dipakai sebatas lutut
• Iket dari kain segitiga motif batik
• Ikat pinggang/beubeur
• Dengan riasan kumis dan godeg (jambang)
Tari Ketuk Tilu diiringi tiga buah waditra (alat
musik),yaitu
kendang, gong, dan tiga buah ketuk, bisa
dipadukan dengan
lagu “Kangsreng”.
Kaitan dari Tari Ketuk Tilu yang
dilakukan penari, ronggeng atau doger adalah gerakannya yang erotis, yakni
gerakan berupa goyang pinggul, geol dan giteknya yang merangsang. Sekelumit
erotisme, enjoyment serta partisipasi Tari Ketuk Tilu memiliki latar belakang
sebuah budaya untuk upacara sakral. Pada mulanya Tari Ketuk Tilu adalah tari bagi upacara penghargaan kepada dewi yang dianggap melindungi tanaman padi, yakni Dewi Sri. Tari ini dilakukan oleh dua jenis penari yang terdiri dari wanita dan pria secara berpasangan yang mengandung arti kesuburan. Nama Ketuk Tilu itu diambil dari waditra pengiringnya (alat musik) yang terdiri dari alat musik yang disebut ketuk berupa gendang kecil.
Pada setiap pertunjukkan ketuk tilu juga selalu ada ronggeng, yakni primadona yang biasanya menari dan menyanyi. Ronggeng inilah yang selalu mengekspolitasi gerak tubuh yang erotis.
- Cakalele adalah tarian perang tradisional Maluku yang digunakan untuk menyambut tamu ataupun dalam perayaan adat.Biasanya, Tarian ini dibawakan oleh 30 pria dan wanita. Tarian ini dilakukan secara berpasangan dengan iringan musik drum, flute, bia (sejenis musik tiup).
- Tari Jepen adalah kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai Mahakam maupun di daerah pantai.
Tarian pergaulan ini biasanya ditarikan berpasang-pasangan, tetapi dapat pula
ditarikan secara tunggal. Tari Jepen ini diiringi oleh sebuah nyanyian dan
irama musik khas Kutai yang disebut dengan Tingkilan. Alat musiknya terdiri
dari gambus (sejenis gitar berdawai 6) dan ketipung (semacam kendang kecil).
Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen 29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen 29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
- Tari Kanjar merupakan tarian ritual pada upacara religi suku (Hindu Kaharingan) dari suku Dayak Bukit. Tari Kanjar (ba-kanjar) pada suku Bukit dilakukan oleh penari lelaki, sedangkan tarian serupa jika ditarikan penari wanita disebut tari babangsai. Wujud tarian ini berupa gerakan berputar-putar mengelilingi suatu poros berupa altar tempat meletakkan sesaji (korban). Jadi mirip dengan tarian upacara ritual pada suku Dayak rumpun Ot Danum lainnya, misalnya pada suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur
- Tari Serampang Duabelas berkisah tentang cinta suci dua anak manusia yang muncul sejak pandangan pertama dan diakhiri dengan pernikahan yang direstui oleh kedua orang tua sang dara dan teruna. Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati tersebut, maka tarian ini biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Serampang Duabelas tidak hanya berkembang dan dikenal oleh masyarakat di wilayah Kesultanan Serdang, tetapi juga menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Riau, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke Maluku. Bahkan, tarian ini sering dipentaskan di manca negara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Hongkong
Peralatan
Untuk menarikan Tari Serampang Duabelas, sedikitnya ada
tigal hal yang harus dipersiapkan, yaitu:
- Musik pendukung. Pada awal perkembangannya, musik pendukung tarian ini menggunakan peralatan musik tradisional. Namun seiring perkembangan zaman, peralatan musik yang digunakan semakin beragam.
- Pakaian penari. Biasanya, pakaian yang digunakan untuk menari Tari Serampang Duabelas adalah pakaian adat Melayu di pesisir pantai timur Pulau Sumatra. Walaupun bukan menjadi peralatan utama, keberadaan pakaian ini sangat penting. Sedikitnya ada dua alasan mengapa faktor pakaian menjadi penting, yaitu: pertama, warna-warni pakaian adat yang digunakan akan menjadikan ragam Tari Serampang Duabelas yang dimainkan semakin indah dan menarik; kedua, penggunaan pakaian adat menjadi penanda daerah asal Tari Serampang Duabelas.
- Sapu tangan. Sapu tangan dalam Tari Serampang Duabelas mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai kombinasi pakaian adat, dan sebagai media tari pada gerakan penutup tarian.
Penari
Tari Serampang Duabelas dimainkan secara berpasangan
oleh laki-laki dan perempun. Namun, pada awal perkembangannya, tarian ini
dimainkan secara berpasangan oleh laki-laki.
B . TARI KELOMPOK
- Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
- Tari Saman adalah salah satu tarian daerah Aceh yang paling terkenal saat ini. Tarian ini berasal dari dataran tinggi Gayo. Syair saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Pada kenyataannya nama “Saman” diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.
Karena kedinamisan geraknya, tarian ini banyak dibawak/ditarikan oleh kaum pria, tetapi perkembangan sekarang tarian ini sudah banyak ditarikan oleh penari wanita maupun campuran antara penari pria dan penari wanita. Tarian ini ditarikan kurang lebih 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
|
- Tarian Angguk merupakan satu dari sekian banyak jenis kesenian rakyat yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian angguk berbentuk tarian disertai dengan pantun-pantun rakyat yang berisi pelbagai aspek kehidupan manusia, seperti: pergaulan dalam hidup bermasyarakat, budi pekerti, nasihat-nasihat dan pendidikan. Dalam kesenian ini juga dibacakan atau dinyanyikan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab Tlodo, yang walaupun bertuliskan huruf Arab, namun dilagukan dengan cengkok tembang Jawa. Nyanyian tersebut dinyanyikan secara bergantian antara penari dan pengiring tetabuhan. Selain itu, terdapat satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu adanya pemain yang “ndadi” atau mengalami trance pada saat puncak pementasannya. Sebagian masyarakat Yogyakarta percaya bahwa penari angguk yang dapat “ndadi” ini memiliki “jimat” yang diperoleh dari juru-kunci pesarean Begelen, Purworejo.
Tarian angguk diperkirakan muncul
sejak zaman Belanda1, sebagai ungkapan rasa
syukur kapada Tuhan setelah panen padi. Untuk merayakannya, para muda-mudi
bersukaria dengan bernyanyi, menari sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dari
sinilah kemudian melahirkan satu kesenian yang disebut sebagai “angguk”. Tari
angguk biasa digelar di pendopo atau di halaman rumah pada malam hari. Para
penontonnya tidak dipungut biaya karena pertunjukan kesenian angguk umumnya
dibiayai oleh orang yang sedang mempunyai hajat (perkawinan, perayaan 17
Agustus-an dan lain-lain).
Jenis-jenis Angguk dan Pemain
Tarian yang disajikan dalam kesenian
angguk terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) tari ambyakan, adalah tari angguk
yang dimainkan oleh banyak penari. Tarian ambyakan terdiri dari tiga macam
yaitu: tari bakti, tari srokal dan tari penutup; dan (2) tari pasangan, adalah
tari angguk yang dimainkan secara berpasangan. Tari pasangan ini terdiri dari
delapan macam, yaitu: tari mandaroka, tari kamudaan, tari cikalo ado, tari
layung-layung, tari intik-intik, tari saya-cari, tari jalan-jalan, dan tari
robisari.
Pada mulanya angguk hanya dimainkan
oleh kaum laki-laki saja. Namun, dalam perkembangan selanjutnya tarian ini juga
dimainkan oleh kaum perempuan. Para pemain angguk ini mengenakan busana yang
terdiri dari dua macam, yaitu busana yang dikenakan oleh kelompok penari dan
busana yang dikenakan oleh kelompok pengiring. Busana yang dikenakan oleh
kelompok penari mirip dengan busana prajurit Kompeni Belanda, yaitu: (1) baju
berwarna hitam berlengan panjang yang dibagian dada dan punggunya diberi hiasan
lipatan-lipatan kain kecil yang memanjang serta berkelok-kelok; (2) celana
sepanjang lutut yang dihiasi pelet vertikal berwarna merah-putih di sisi luarnya;
(3) topi berwarna hitam dengan pinggir topi diberi kain berwarna merah-putih
dan kuning emas. Bagian depan topi ini memakai “jambul” yang terbuat dari
rambut ekor kuda atau bulu-bulu; (3) selendang yang digunakan sebagai penyekat
antara baju dan celana; (4) kacamata hitam; (5) kaos kaki selutut berwarna
merah atau kuning; dan (6) rompi berwarna-warni. Sedangkan busana yang
dikenakan oleh kelompok pengiring adalah: (1) baju biasa; (2) jas; (3) sarung;
dan (4) kopiah.
Peralatan musik yang digunakan untuk
mengiringi tari Angguk diantaranya adalah: (1) kendang; (2) bedug; (3) tambur;
(4) kencreng; (5) rebana 2 buah; (6) terbang besar dan (6) jedor.
Nilai Budaya
Seni apa pun pada dasarnya
mengandung nilai estetika, termasuk seni tari angguk.yang ada di kalangan
masyarakat Yogyakarta. Namun demikian, jika dicermati secara seksama kesenian
ini hanya bernilai estetis dan berfungsi sebagai hiburan semata. Akan tetapi,
justuru yang menjadi rohnya adalah nilai kesyukuran. Dalam konteks ini adalah
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kemurahannya (memberi hasil panen
yang melimpah).
Pakaian merupakan kriteria yang mempengaruhi penialaian. Kepandaian menari harus dipadankan dengan pemahaman pakaian tradisional, demikian kesimpulan yang ditetapkan para utusan setiap kecamatan dengan dewan juri. Pada festival tortor tahun ini pemenangnya adalah kontingen Kecamatan Sigumpar.
Di Propinsi Sumatera Utara juga diadakan Festival tari tradisional. Tobasa yang diwakili siswa SMA Negeri 1 Balige berhasil mendapat kejuaraan.
Kedua kelompok tari pemenang kejuaraan ini dipagelarkan usai peringatan detik-detik kemerdekaan RI ke 62 di lapangan Sisingamangaraja XII Balige.
Ada dua hal yang kelihatan berbeda diantara penampilan kedua kelompok itu walaupun sama-sama tortor batak dan diiringi gondang Batak.
Juara propinsi itu banyak menyimpang dari kriteria penjurian festival tortor di Tobasa, antara lain keluwesan gerak dan pakaian tradisional. Walau sama-sama ulos batak, tapi penggunaannya berbeda.
Hoba-hoba ulos yang dililitkan di pinggang sampai kaki tidak lajim menggunakan punsa (namarulu). Perempuan toba biasanya pakai selembar lagi ulos dililitkan di dada yang disebut hohop. Tali-tali harus dari ulos dan dililitkan di kepala. Ada satu sebutan kepandaian bagi putra batak yang disebut; “namalo martali-tali”. Lilitan ulos hoba-hoba harus menutup ke kiri. Hindarkan penggunaan ulos bukan Toba, misalnya sadum angkola.
Bandingkan dengan juara propinsi itu. Mereka menggunakan ulos namarulu (punsa) untuk hobahoba dan dililitkan menutup ke kanan. Sampe-sampe adalah sadum angkola. Para penari prianya tidak menggunakan tali-tali, tapi topi melayu.
Beruntung bila para dewan juri di Sumut tidak terlalu terikat kepada penggunaan assesori tepat material dan tepat guna sehingga Tobasa mendapatkan kejuaraan.
Ada yang menarik hati dalam mengisi acara hiburan dari salah satu perguruan Islam di Balige. Mereka menggunakan jilbab dan ulos batak, kreasi tortor-toba dan gondang untuk menghibur penonton. Siapa bilang mereka tidak pandai manortor dan tidak menggunakan ulos? Ternyata musik batak akrab di telinga mereka. Horas generasi muda muslim Tobasa.
0 comments:
Post a Comment